Minggu, Mei 5, 2024
Beranda Rubrik Opini Di Negara Plural, Sekte Radikalisme Tidak Memiliki Konsep Kenegaraan

Di Negara Plural, Sekte Radikalisme Tidak Memiliki Konsep Kenegaraan

Penulis: Syaurur Rofi

Radikalisme dalam Islam hanya terbelenggu pada ajaran yang tidak pernah terbuka pada perkembangan zaman dan hanya memiliki satu kebenaran yaitu Islam sebagai kebenaran kaffah dan tidak bisa di negosiasi dari sudut pandang apapun, semestinya jika paradigma pengikut sekte Islam radikal dimana katanya selalu bersandar pada Al-Qur’an dan Al-Hadist akan tahu tentang hadist nabi “Al-Islamu/Al-Qur’anu Shalihun Li Kulli Zaman Wal Makan,” yang bermakna Islam) Al-Qur’an selalu terbuka di setiap tempat dan waktu secara gamblang dapat disimpulkan kelompok tersebut tidak paham betul dari kandungan makna Al-Qur’an dan Hadits yang sesungguhnya, karena secara fundamental untuk mengenal dan memahami betul harus tahu prihal qiyas, ijma’ dan juga al-urf yang dibangun oleh para tabiin dan ulama (Fiqih), sedangkan kita rasio kita tidak mampu berpikir secara komprehensif terkait Al-Qur’an dan hadits.

Kemudian jika hari ini kita tidak bisa berdiskusi langsung dengan para tabiin dan ulama (fiqih) tentang hukum-hukum Islam maka Allah SWT. Sudah berfirman dalam Surah An-Nahl ayat 43 yang berbunyi :

فَسۡ‍َٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ.

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.”

Ayat di atas bertujuan agar kita tidak gampang menerima dan menghukumi atas peristiwa-peristiwa yang terjadi dan apabila peristiwa tersebut bertentangan dengan ajaran Islam maka tidak gampang untuk berpendapat bahwa itu adalah perbuatan yang salah dan kesalahan tempatnya di neraka pastinya ada satu ungkapan yang akan di lontarkan yaitu kafir. Karena kita tidak hidup sezaman dengan para tabiin dan Ulama (Fiqih) maka kita sebaiknya kita berguru atau nyantri kepada Kia yang sudah mengaji atau sudah paham tentang kerangka dan manajemen hukum Islam untuk diberlakukan.

Islam sebenarnya merupakan agama terbuka terhadap segala aspek kehidupan sekalipun perbedaan agama, agar kehidupan sosial yang harmonis dan toleransi tidak menimbulkan dampak teragis pada hubungan kemanusiaan, karena pada dasarnya Islam menempatkan manifestasi ukhuwah atau persaudaraan pada 3 ukhuwah, Pertama Ukhuwah Islamiyyah tertuju pada ummat Islam untuk terus saling bersilaturahmi sesama pemeluknya tanpa melihat latar belakang kelompok, ras, suku budaya dan perbedaan lainnya, ukhuwah ini yang sering tidak dimengerti oleh sekte-sekte Islam radikal jika ada yang tidak sepamahaman dengan kelompoknya maka di justice kafir dan cenderung memaksa dengan cara kekerasan untuk ikut terhadap kelompoknya.

Kedua ialah Ukhuwah Wathaniyah saudara karena satu negara maka wajib hukumnya untuk saling mendukung dan melindungi setiap insan yang berada dalam satu wilayah, kalau melihat dari segi historis negara Indonesia ini tentunya yang berjuang untuk mencapai kemerdekaan dan memberantas penjajah tidak hanya ummat Muslim tapi agama lainnya juga ikut andil didalamnya, maka sangat miris ketika ada ummat Islam yang sangat dangkal pemahamannya dan kesadarannya dalam bertoleransi, serasa Negara ini adalah milik dan hanya Islam yang berjuang mengusir penjajahan. Seperti yang tulis oleh Presiden Ke-empat kita yaitu Gusdur ( dalam Prisma, Oktober, 1983), yang bertajuk “Republik Bumi di Surga,” bahwa cita-cita para sekte Islam radikal untuk mendirikan “Kerajaan Tuhan” di bumi manusia itu justru mengantarkan pada kebalikannya, malahan akan bertujuan menegakkan “Republik Bumi” untuk dilestarikan hingga di akhirat.

Ketiga yaitu ukhuwah Insaninya memiliki makna meskipun kita tidak bersaudara sesama muslim dan tidak satu Negara namun antar ummat Islam dengan ummat agama lainnya ini sama-sama sebagai manusia maka haram hukumnya jika kita selalu mengolok-olok agama lain karena agama tidak benar atau menyesatkan dan berpandangan bahwa ummat Islam adalah penghuni surga sejati, kalau hanya pemikiran itu di kayakinan dalam hati tentunya sangat baik namun yang membuat keliru ketika melakukan kekerasan untuk manghancurkan agama lain seperti terorisme, sekalipun dalam bukunya habib Ja’far yang berjudul Tuhan “Tidak di Vatikan, di Ka’bah atau di tembok Ratapan Tapi Tuhan di Hatimu,” di tulis oleh beliau bahwa teror itu adalah hasil olahan orang barat yang tidak suka terhadap Islam dan kemudian menghasut ummat Islam dengan agitasi dan propagandanya kemudian melebelkan dirinya sebagai ummat Islam

Prihal ukhuwah yang terkahir sama seperti teori Humanisme memiliki sifat dasar untuk mengangkat harkat dan martabat manusia juga agar manusia saling melakukan hubungan sosial manusia selalu harmonis dan seperti teori Homo Homini Lupus oleh Thomas Hobbes yang mana teori tersebut berarti jangan menjadi serigala pada manusia lainnya karena serigala memiliki sifat yang tidak tahu sesama kalangannya maski sesama serigala saling terkam menerkam, dari beberapa hal di atas manandakan bahwa kehidupan kemanusiaan menitik beratkan kepada toleransi dan soliditas.

Mengapa kemudian radikalisme Islam di Negara Plural tidak memiliki konsep kenegaraan karena tercatat dari banyak sejarah gerakan radikalisme yang dilakukan oleh para pengikutnya berbetuk fundamentalis pada awal abad-20 di berbagai negara seperti Ikhwanul Muslim dan yang lebih radikal lagi sekte al-jamaah al-islamiyah di Mesir, dimana pemikirannya berdasar bahwa kedaulatan hanya milih Allah dan pemerintah yang tidak mengikuti hal itu tidak layak mendapatkan penghormatan (Piscatori;1996) namun tidak di Negara-negara Timur Tengah tetapi Radikalisme juga muncul di berbagai negara, Islamic Renaisance Party di Tajikistan, Darul Islam di Aceh (Indonesia), Front Islamique du Salut di Aljazair dan lainnya.

Dari penyataan di atas banyak menuai kritik dari kalangan Islam sendiri maupun dari non-islam seperti dari Presiden Irak Saddam Hussein dan Raja Maroko Hassan II bahwa harus ada pemisah antara politik dan Islam karena keduanya hal yang berbeda dan jika disatukan akan mengakibatkan kesimpangsiuran bahkan kejanggalan, seperti di negara ini negara yang terkenal keanekaragamannya seperti budaya, ras, suku dan lainnya. Beberapa literatur sejarah mencatat bahwa Bapak Proklamator kemerdekaan (Soekarno) di cap Ateis karena tidak mau memperjuangkan Islam sebagai ideologi bangsa dan menyepakati dihapusnya 7 kata dalam sila pertama pada Pancasila, hal itu simetris dengan toleransi antar sesama penduduk Indonesia.

Sedangkan ummat Islam yang masih radikal dalam persoalan kenegaraan tidak akan bisa menjawab hanya dengan ayat baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur yang di Artikan bahwa negara yang tidak memperlakukan ajaran Islam akan di timpa musibah, maka dari itu sistem kenegaraan tidak boleh kalau bukan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, jika mengambil dari pandangan Ali Abdel Raziq (Mesir:1888) bahwa ada tiga hal yang tidak di tunjukkan untuk mengatur kenegaraan dalam Al-Qur’an dan Hadits, Pertama Nabi Muhammad SAW. Tidak pernah memanifestasikan mekanisme pergantian pejabatnya, Kedua Al-Qur’an tidak pernah secara langsung menyertakan doktrin Daulah Islamiyyah, dan terakhir Rasulullah tidak pernah memperlihatkan watak politis.

Tidak sepatutnya sekte-sekte radikal atau kelompok konservatif Islam melakukan perbuatan itu karena melihat islamisasi di Indonesia seperti Walisongo berdakwah melalui Akulturasi budaya yang merupakan peninggalan Buddha dan lainnya, jika kaum radikal tetap terus berbuat sedemikian maka mereka hanya akan membawa pada pemahaman jumud dalam melangsungkan kehidupan sosial masyarakat khususnya ummat muslim apalagi untuk memberikan sumbangsih pemikiran tentang sistem kenegaraan, yang ada hanya akan menyudutkan manusia pada kebenarannya dan mengkafirkan manusia yang berparadigma bertentangan dengan keyakinan dalam pikirannya, maka yang akan di hasilkan bukan kemaslahatan tapi perpecahan dan kehancuran dengan metode dakwah yang selalu bergantung pada pemaksaan atas kehendaknya.

Malah ketika Gusdur menduduki kursi kepresidenan beliau melegalkan keberadaan agama Konghucu di Indonesia karena setelah masuk Orde Baru para pengikutnya tidak memiliki kebebasan dalam menjalankan keagamaannya, maka Gusdur mendapat sebutan sebagai bapak pluralisme sekalipun banyak mendapatkan pertentangan dari para kiai atau ummat Islam karena pada hakikatnya Islam itu Rahmat dan memudahkan terhadap manusia bukan menakutkan apalagi melakukan teror untuk menyiarkan agama Islam maka itu adalah pemahaman yang salah dan sejatinya itu bukan Islam.

ARTIKEL TERKAIT

Menag : Jangan Pilih Pemimpin Yang Menunggangi Agama Sebagai Kepentingan Politik

Mengingat pemilu yang diporak-porandakan dengan politisasi agama pada 2017 dan 2019 yang lalu, maka, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengingatkan kepada masyarakat...

Mustahil Para Habaib Itu Bernasab Kepada Nabi Muhammad SAW

Penulis: KH Imaduddin Utsman al-Bantani Para habib mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw melalui jalur...

Peredam Paham Khilafah Melalui Dakwah Wasathiyah

            Satu faktor penting dalam merawat persatuan bangsa adalah dengan mengedepankan prinsip keberagamaan Islam moderat atau wasathiyah. Yakni...

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Menag : Jangan Pilih Pemimpin Yang Menunggangi Agama Sebagai Kepentingan Politik

Mengingat pemilu yang diporak-porandakan dengan politisasi agama pada 2017 dan 2019 yang lalu, maka, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengingatkan kepada masyarakat...

Mustahil Para Habaib Itu Bernasab Kepada Nabi Muhammad SAW

Penulis: KH Imaduddin Utsman al-Bantani Para habib mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw melalui jalur...

Peredam Paham Khilafah Melalui Dakwah Wasathiyah

            Satu faktor penting dalam merawat persatuan bangsa adalah dengan mengedepankan prinsip keberagamaan Islam moderat atau wasathiyah. Yakni...

BEM PTNU Gelar Aksi Di Depan Kantor BUMN, Berikut Sejumlah Tuntutannya!

Jakarta - Badan Eksekutif Mahasiswa PTNU SeNusantara melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Buntut Penangkapan...

Recent Comments